KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan
syukur pada Allah SWT, yang memberikan hidayah dan taufiq sehingga penulis
dapat menyusun makalah ini. Shalawat beriring salam senantiasa pada baginda
Muhammad SAW, melalui risalahnyalah kita dapat menikmati berbagai macam ilmu
pengetahuan.
Makalah sederhana yang berjudul “Pembentukan
Karakter Santri Melalui Pesantren” ini penulis buat dengan usaha keras
untuk tugas mata kuliah Bahasa Indonesia, penulis sadar masih banyak
kekurangannya. Dengan ikhlas dan lapang hati demi penyempurnaan makalah ini,
penulis mengharapkan kritik dan saran serta uluran tangan dari pembaca.
Terimakasih saya ucapkan kepada
pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan informasi kepada penulis dalam
pembuatan makalah ini. Semoga bukan hanya bermanfaat bagi Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry tetapi juga untuk khalayak ramai masyarakat Aceh.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh, berkembang dan
tersebar di berbagai pedesaan dan perkotaan. Keberadaan pesantren sebagai
lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini
memiliki nilai-nilai yang strategis dalam pengembangan sikap dan perilaku
masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan, pada satu sisi, sebagian besar penduduk
Indonesia terdiri dari umat Islam, dan pada sisi lain, mayoritas dari mereka
tinggal di pedesaan.
Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini
memiliki pengaruh kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan di kalangan
masyarakat muslim yang taat. Kuatnya pengaruh pesantren tersebut membuat setiap
pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum
elit pesantren tidak memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan
perilaku masyarakat Islam khusus bagi yang pernah mengenyam pendidikan di
pesantren.
Tulisan ini mengankat kiprah yang dilakukan pesantren,
peran ustaz dan metode pembentukan perilaku santrinya. Dari penelusuran itu,
langkah-langkah pesantren itu ke depan sangat penting untuk didiskusikan secara
intens agar pesantren benar-benar bisa eksis, berperan maksimal mengantarkan
masyarakat pada kemampuan untuk menyikapi kehidupan-kehidupan kontemporer
dengan segala dampak yang dibawahnya
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pesantren dan Santri
Kata “pesantren” berasal dari kata
“santri” dengan awalan pe- dan akhiran yang berarti tempat tinggal para santri.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), kata santri memiliki dua
pengertian, yaitu (1) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh;orang saleh. Pengertian
lain mengatakan bahwa pesantren adalah sekolah berasrama untuk mempelajari
agama Islam. Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren berarti tempat untuk
membina manusia menjadi orang baik. Sedangkan asal usul kata “santri” dalam
pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, “santri”
berasal dari perkataan “sastri”, bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf.[1]
Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa kata “santri” dalam bahasa
India secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau
buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[2]
Kedua, yang mengatakan “santri” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik”,
berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi
menetap.
Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren,
pondok atau pondok pesantren secara esensial mengandung makna yang sama, hanya sedikit
perbedaan. Kata “pondok” berasal dari bahasa Arab yaitu funduq, artinya
tempat menginap (asrama). Dinamakan demikian karena pondok merupakan tempat
penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya.
M. Arifin menyatakan bahwa, penggunaan
gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok dan pesantren menjadi
pondok pesantren lebih mengakomodasi karakter keduanya. Pondok pesantren
menurut M. Arifin :
Suatu
lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar,
dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama
melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah
kedaulatan dari leadership para ustaz dengan ciri-ciri khas yang bersifat
karismatik serta independen dalam segala hal.[3]
Adapun menurut Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional
untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran
Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Menarik juga klasifikasi yang diajukan
oleh Wardi Bakhtiar, bahwa dilihat dari segi jenis pengetahuan yang diajarkan,
pesantren terbagi menjadi dua macam. Pertama, Pesantren Salaf, yaitu pesantren
yang mengajarkan kitab Islam klasik (kitab kuning) saja dan tidak diberikan
pembelajaran pngetahuan umum. Kedua, Pesantren Khalaf, yang selain memberikan
pembelajaran kitab Islam klasik, juga memberikan pengetahuan umum dengan jalan
membuka sekolah umum di lingkungan dan dibawah tanggung jawab pesantren.
Demikian pula yang dikemukakan oleh
Bahaking Rama, bahwa dari segi aktivitas pendidikan yang dikembangkan,
pesantren dapat diklasifikasi dalam beberapa tipe, yaitu;
1)
Pesantren tradisional, yaitu pesantren yang hanya
menyelenggarakan pengajian kitab dengan sistem sorogan, bandongan dan wetonan.
2)
Pesantren semi modern, yaitu pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan campuran antara sistem pengajian kitab tradisional
dengan madrasah formal dan mengadopsi kurikulum pemerintah.
3)
Pesantren modern, yaitu pesantren yang menyelenggarakan
pola campuran antara sistem pengajian kitab tradisonal, sistem madrasah, dan
sistem sekolah umum dengan mengadopsi kurikulum pemerintah (Departemen Agama
dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dan ditambah dengan kurikulum muatan local.
Dari berbagai pendapat tentang teori
penamaan pesantren tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam dibawah pimpinan seorang kiai/ustaz, baik melalui jalur formal
maupun non formal yang bertujuan untuk mempelajari dan mengamalkana ajaran
Islam melalui pembelajaran kitab kuning dengan menekankan moral keagamaan
sebagai pedoman dalam berprilaku keseharian santri.
B.
Metode Pesantren Dalam Membentuk
Perilaku Santri
Perilaku merupakan seperangkat perbuatan/tindakan
seseorang dalam merespon sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya
nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada dasarnya terdiri dari komponen
pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor) atau
tindakan. Perilaku menunjukkan wajah kepribadian seorang manusia. Mereka
terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang berulang secara tetap pada setiap waktu
dan tempat. Kebiasaan-kebiasaan ini tidak terbentuk satu kali jadi. Juga bukan
bawaan sejak lahir, tetapi merupakan suatu kebiasaan yang terbentuk dari waktu
ke waktu. Ia harus dilatih berulang kali hingga nanti tergerak otomatis. Para
ahli mengatakan, ‘pertama-tama kau membentuk kebiasaan, setelah itu kebiasaanmu
yang akan membentuk engkau.’
Perbuatan seseorang atau respon seseorang terhadap
rangsang yang datang, didasari oleh seberapa jauh pengetahuannya terhadap
rangsang tersebut, bagaimana perasaan dan penerimaannya berupa sikap terhadap
obyek rangsang tersebut, dan seberapa besar keterampilannya dalam melaksanakan
atau melakukan perbuatan yang diharapkan.
Bagi
pesantren setidaknya ada 6 metode yang diterapkan dalam membentuk perilaku
santri, yakni ; 1) Metode Keteladanan (Uswah Hasanah); 2) Latihan dan
Pembiasaan (tadrib) ; 3) Mengambil Pelajaran (ibrah); 4) Nasehat (mauidzah); 5)
Kedisiplinan; 6) Pujian dan Hukuman (targhib wa tahzib)
1.
Metode Keteladanan
Secara
psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk mengembangkan
sifat-sifat dan potensinya. Pendidikan perilaku lewat keteladana adalah
pendidikan dengan cara memberikan contoh-contoh kongkrit bagi para santri.
Dalam pesantren, pemberian contoh keteladanan sangat ditekankan. Pimpinan dan
ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik bagi para santri, dalam
ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang lain,[4]
karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa yang
disampaikan. Semakin konsekuen seorang pimpinan atau ustadz menjaga tingkah
lakunya, semakin didengar ajarannya.
2.
Metode Latihan dan Pembiasaan
Mendidik
perilaku dengan latihan dan pembiaasaan adalah mendidik dengan cara memberikan
latihan-latihan terhadap norma-norma kemudian membiasakan santri untuk
melakukannya. Dalam pendidikan di pesantren metode ini biasanya akan diterapkan
pada ibadah-ibadah amaliyah, seperti shalat berjamaah, kesopanan pada pimpinan dan
ustadz. Pergaulan dengan sesama santri dan sejenisnya. Sedemikian, sehingga
tidak asing di pesantren dijumpai, bagaimana santri sangat hormat pada ustadz
dan kakak-kakak seniornya dan begitu santunnya pada adik-adik pada junior,
mereka memang dilatih dan dibiasakan untuk bertindak demikian.
Latihan
dan pembiasaan ini pada akhirnya akan menjadi akhlak yang terpatri dalam diri
dan menjadi yang tidak terpisahkan. Al-Ghazali menyatakan :
"Sesungguhnya perilaku manusia menjadi kuat dengan
seringnnya dilakukan perbuatan yang sesuai dengannya, disertai ketaatan dan
keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah baik dan diridhai".
3.
Mendidik melalui ibrah (mengambil pelajaran)
Secara
sederhana, ibrah berarti merenungkan dan memikirkan, dalam arti umum bisanya
dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Abd. Rahman
al-Nahlawi, seorang tokoh pendidikan asal timur tengah, mendefisikan ibrah dengan
suatu kondisi psikis yang manyampaikan manusia untuk mengetahui intisari suatu
perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimbang-timbang, diukur
dan diputuskan secara nalar, sehingga kesimpulannya dapam mempengaruhi hati
untuk tunduk kepadanya, lalu mendorongnya kepada perilaku yang sesuai. Adapun
pengambilan ibrah bisa dilakukan melalui kisah-kisah teladan, fenomena alam
atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik di masa lalu maupun sekarang.
4.
Mendidik melalui mau’idzah (nasehat)
Mau’idzah
berarti nasehat. Rasyid Ridla mengartikan mauidzah sebagai berikut.
”Mau’idzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan
kebenaran dengan jalan apa yang dapat menyentuh hanti dan membangkitkannya
untuk mengamalkan”.
Metode
mau’idzah, harus mengandung tiga unsur, yakni : a). Uraian tentang kebaikan dan
kebenaran yang harus dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini santri, misalnya
tentang sopan santun, harus berjamaah maupun kerajinan dalam beramal; b).
Motivasi dalam melakukan kebaikan; c). Peringatan tentang dosa atau bahaya yang
bakal muncul dari adanya larangan bagi dirinya sendiri maupun orang lain.[5]
5.
Mendidik melalui kedisiplinan
Dalam
ilmu pendidikan, kedisiplinan dikenal sebagai cara menjaga kelangsungan
kegiatan pendidikan. Metode ini identik dengan pemberian hukuman atau sangsi.
Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran siswa bahwa apa yang dilakukan tersebut
tidak benar, sehingga ia tidak mengulanginya lagi.[6]
Pembentukan
lewat kedisiplinan ini memerlukan ketegasan dan kebijaksanaan. Ketegasan
mengharuskan seorang pendidik memberikan sangsi bagi pelanggar, sementara
kebijaksanaan mengharuskan sang pendidik sang pendidik berbuat adil dan arif
dalam memberikan sangsi, tidak terbawa emosi atau dorongan lain. Dengan
demikian sebelum menjatuhkan sangsi, seorang pendidik harus memperhatikan
beberapa hal berikut :
a) Perlu
adanya bukti yang kuat tentang adanya tindak pelanggaran;
b)
Hukuman harus bersifat mendidik, bukan sekedar memberi
kepuasan atau balas dendam dari si pendidik;
c)
Harus mempertimbangkan latar belakang dan kondisi siswa
yang melanggar, misalnya frekuensinya pelanggaran, perbedaan jenis kelamin atau
jenis pelanggaran disengaja atau tidak.
Di
pesantren, hukuman ini dikenal dengan istilah takzir. Takzir adalah hukuman
yang dijatuhkan pada santri yang melanggar. Hukuman yang terberat adalah
dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri yang telah
berulang kali melakukan pelanggaran, seolah tidak bisa diperbaiki. Juga
diberikan kepada santri yang melanggar dengan pelanggaran berat yang mencoreng
nama baik pesantren.
6.
Mendidik melalui targhib wa tahzib
Terdiri
atas dua metode sekaligus yang berkaitan satu sama lain; targhib dan tahzib.
Targhib adalah janji disertai dengan bujukan agar seseorang senang melakukan
kebajikan dan menjauhi kejahatan. Tahzib adalah ancaman untuk menimbulkan rasa
takut berbuat tidak benar. Tekanan metode targhib terletak pada harapan untuk
melakukan kebajikan, sementara tekanan metode tahzib terletak pada upaya
menjauhi kejahatan atau dosa.
Meski
demikian metode ini tidak sama pada metode hadiah dan hukuman. Perbedaan
terletak pada akar pengambilan materi dan tujuan yang hendak dicapai. Targhib
dan tahzib berakar pada Tuhan (ajaran agama) yang tujuannya memantapkan rasa
keagamaan dan membangkitkan sifat rabbaniyah, tanpa terikat waktu dan tempat.
Adapun metode hadiah dan hukuman berpijak pada hukum rasio (hukum akal) yang
sempit (duniawi) yang tujuannya masih terikat ruang dan waktu. Di pesantren,
metode ini biasanya diterapkan dalam pengajian-pengajian, baik sorogan maupun
bandongan.[7]
7.
Mendidik melalui kemandirian
Kemandirian
tingkah-laku adalah kemampuan santri untuk mengambil dan melaksanakan keputusan
secara bebas. Proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan santri yang biasa
berlangsung di pesantren dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu keputusan yang
bersifat penting-monumental dan keputusan yang bersifat harian. Pada tulisan
ini, keputusan yang dimaksud adalah keputusan yang bersifat rutinitas harian.
Terkait
dengan kebiasan santri yang bersifat rutinitas menunjukkan kecenderungan santri
lebih mampu dan berani dalam mengambil dan melaksanakan keputusan secara
mandiri, misalnya pengelolaan keuangan, perencanaan belanja, perencanaan
aktivitas rutin, dan sebagainya. Hal ini tidak lepas dari kehidupan mereka yang
tidak tinggal bersama orangtua mereka dan tuntutan pesantren yang menginginkan
santri-santri dapat hidup dengan berdikari. Santri dapat melakukan sharing
kehidupan dengan teman-teman santri lainnya yang mayoritas seusia (sebaya) yang
pada dasarnya memiliki kecenderungan yang sama. Apabila kemandirian
tingkah-laku dikaitkan dengan rutinitas santri, maka kemungkinan santri
memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.
C.
Peran Ustad Dalam Proses Identifikasi Santri
Sebelum
menguraikan kedudukan (peran) ustad di pesantren, terlebih dahulu penulis
uraikan pengertian ustad. Sebenarnya, kata “ustadz” berasal dari ajami
(non-arab), persisnya bahasa Persia (Iran). Ustad berarti; da'i, mubaligh,
penceramah, guru ngaji Quran, guru madrasah diniyah, guru ngaji kitab di
pesantren, pengasuh/pimpinan pesantren; orang yang memiliki kemampuan ilmu
agama dan bersikap serta berpakaian layaknya orang alim.
Orangtua
memasukkan anaknya ke pondok pesantren biasanya disertai dengan harapan agar si
anak mempunyai ilmu agama yang bagus, berakhlak mulia dan memahami hukum-hukum
Islam. Selama ini tidak ada kekhawatiran bahwa dengan menuntut ilmu di
pesantren akan menjauhkan kasih-sayang orangtua terhadap anak. Anak yang
tinggal di pondok pesantren dalam waktu cukup lama tetap bisa beridentifikasi
kepada kedua orangtuanya. Dengan menjalin komunikasi secara intens dan teratur
diharapkan anak tidak akan kehilangan figur orangtua.
Seperti
kita ketahui bahwa sumber identifikasi seorang anak tidak hanya kedua
orangtuanya, tetapi bisa juga kepada figur-figur tertentu yang dianggap dekat
dan memiliki pengaruh besar bagi anak. Keberadaan pimpinan, pembimbing, ustad
maupun teman sebaya juga bisa mempengaruhi pembentukan kepribadian anak.[8]
Kelebihan
inilah yang dimiliki pesantren sebagai lembaga pendidikan. Dengan segala
keterbatasannya pesantren mampu menampilkan diri sebagai lembaga pembelajaran
yang berlangsung terus-menerus hampir 24 jam sehari. Aktivitas dan interaksi
pembelajaran berlangsung secara terpadu yang memadukan antara suasana keguruan
dan kekeluargaan. Pimpinan sebagai figur sentral di pesantren dapat memainkan
peran yang sangat penting dan strategis yang menentukan perkembangan santri dan
pesantrennya. Kepribadian pimpinan yang kuat, kedalaman pemahaman dan
pengalaman keagamaan yang mendalam menjadi jaminan seseorang dalam menentukan
pesantren pilihannya.
Berdasarkan
pertimbangan di atas, santri mengidentifikasi pimpinan/ustad sebagai figur yang
penuh kharisma dan wakil atau pengganti orang-tua. Proses sosialisasi dan
interaksi yang berlangsung di pesantren memungkinkan santri melakukan imitasi
terhadap sikap dan tingkah-laku ustad. Santri juga dapat mengidentifikasi ustad
sebagai figur ideal sebagai penyambung silsilah keilmuan para ulama pewaris
ilmu masa kejayaan Islam di masa lalu.
Pimpinan
atau ustad di pesantren bisa menempatkan diri dalam dua karakter, yaitu sebagai
model dan sebagai terapis. Sebagai model, ustad adalah panutan dalam setiap
tingkah-laku dan tindak-tanduknya. Bagi anak usia 7-12 tahun hal ini mutlak
dibutuhkan karena ustad adalah pengganti orangtua yang tinggal di tempat yang
berbeda. Dalam pesantren dengan jumlah santri yang banyak diperlukan jumlah ustad
yang bisa mengimbangi banyaknya santri sehingga setiap santri akan mendapatkan
perhatian penuh dari seorang ustad. Jika rasio keberadaan santri dan ustad
tidak seimbang, maka dikhawatirkan ada santri-santri yang lolos dari pengawasan
dan mengambil orang yang tidak tepat sebagai model.
Sebagai
terapis, pimpinan atau ustad memiliki pengaruh terhadap kepribadian dan
tingkah-laku sosial santri. Semakin intensif seorang ustad terlibat dengan
santrinya semakin besar pengaruh yang bisa diberikan. Ustad bisa menjadi agen
kekuatan dalam mengubah perilaku dari yang tidak diinginkan menjadi perilaku
tertentu yang diinginkan. Akan sangat bagus jika anak dapat belajar dari sumber
yang bervariasi, dibandingkan hanya belajar dari sumber tunggal.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perjalanan
hidup seorang manusia diawali pada waktu ia dilahirkan, dilanjutkan dengan
suatu proses panjang yang akan menentukan bagaimana bentuk kepribadiannya pada
masa dewasa. Identifikasi terhadap orang lain adalah salah satu dari sekian
banyak proses yang dialami manusia. Hal ini berkaitan erat dengan bagaimana
perilaku orang-orang dewasa yang ada di sekitar anak ketika ia sedang dalam
masa pertumbuhan. Orangtua yang hangat, berwibawa, penuh kasih-sayang, dan
memiliki kompetensi dalam mendidik anak akan membawa pengaruh yang baik bagi
anak, dan pengaruh ini akan dibawa sampai seorang anak mencapai kedewasaan.
Seorang anak
yang tinggal berjauhan dengan orangtuanya karena menjalani pendidikan di
pesantren tidak akan kehilangan kesempatan untuk beridentifikasi dengan kedua
orangtuanya. Orangtua bisa meyakinkan anak bahwa kasih-sayang mereka tidak
terputus meskipun terpisahkan oleh jarak. Komunikasi yang intens, kunjungan
secara rutin, memantau perkembangan anak harus selalu dilakukan orangtua.
Adanya
pembinaan metode pesantren, pimpinan, ustad, dan pembimbing dalam jumlah yang
cukup, akan bisa mengganti peran orangtua selama anak tinggal dalam asrama. Pimpinan
dan ustad di pesantren berperan dalam dua hal bagi santrinya, yaitu sebagai
model dan sebagai terapis.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin,
Tamyiz, Akhlak Pesantren : Solusi Bagi Kerusakan Akhlak. Yogyakarta: Ittiqa Press, 2001.
Djiwandono,
Sri Esthi Wuryani, Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Grasindo, 2002.
Dhofier,
Zamkhasyari, Tradisi Pesantren. Cet.
II; Jakarta: Mizan, 1998.
Madjid,
Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Cet.
I; Jakarta: Paramadina,
1977.
Mukhdar,
Zuhdy, KH. Ali Ma'shum Perjuangan dan Pemikirannya. Yogyakarta: 1989.
An-Nahlawi,
Abd. Rahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. diterjemahkan
Dahlan & Sulaiman, Bandung: CV. Dipenegoro, 1992.
Nawawi,
Hadari, Pendidikan Dalam Islam. Surabaya:
Al-Ikhlas, 1993.
Prasodjo,
Sudjoko, Profil Pesantren. Jakarta:
LP3ES, 1982.
[1] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren;
Sebuah Potret Perjalanan (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1977), h. 19
[4] Zuhdy Mukhdar, KH. Ali Ma'shum Perjuangan dan Pemikirannya,
(Yogyakarta, tnp, 1989)
[5] Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren : solusi bagi Kerusakan
Akhlak, (Yogyakarta; ITTIQA PRESS : 2001), h. 57-58
[8] Sri Esthi Wuryani, Psikologi Pendidikan, ( Jakarta:
Grasindo : 2002), h. 203
Gawat thad SenDiiiiiiii
BalasHapus