Selasa, 24 Desember 2013

Pembentukan Karakter Santri Melalui Pesantren

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur pada Allah SWT, yang memberikan hidayah dan taufiq sehingga penulis dapat menyusun makalah ini. Shalawat beriring salam senantiasa pada baginda Muhammad SAW, melalui risalahnyalah kita dapat menikmati berbagai macam ilmu pengetahuan.
            Makalah sederhana yang berjudul “Pembentukan Karakter Santri Melalui Pesantren” ini penulis buat dengan usaha keras untuk tugas mata kuliah Bahasa Indonesia, penulis sadar masih banyak kekurangannya. Dengan ikhlas dan lapang hati demi penyempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran serta uluran tangan dari pembaca.

            Terimakasih saya ucapkan kepada pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan informasi kepada penulis dalam pembuatan makalah ini. Semoga bukan hanya bermanfaat bagi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry tetapi juga untuk khalayak ramai masyarakat Aceh.


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh, berkembang dan tersebar di berbagai pedesaan dan perkotaan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai yang strategis dalam pengembangan sikap dan perilaku masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan, pada satu sisi, sebagian besar penduduk Indonesia terdiri dari umat Islam, dan pada sisi lain, mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan.
Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini memiliki pengaruh kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim yang taat. Kuatnya pengaruh pesantren tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan perilaku masyarakat Islam khusus bagi yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
Tulisan ini mengankat kiprah yang dilakukan pesantren, peran ustaz dan metode pembentukan perilaku santrinya. Dari penelusuran itu, langkah-langkah pesantren itu ke depan sangat penting untuk didiskusikan secara intens agar pesantren benar-benar bisa eksis, berperan maksimal mengantarkan masyarakat pada kemampuan untuk menyikapi kehidupan-kehidupan kontemporer dengan segala dampak yang dibawahnya



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pesantren dan Santri
         Kata “pesantren” berasal dari kata “santri” dengan awalan pe- dan akhiran yang berarti tempat tinggal para santri. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), kata santri memiliki dua pengertian, yaitu (1) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh;orang saleh. Pengertian lain mengatakan bahwa pesantren adalah sekolah berasrama untuk mempelajari agama Islam. Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik. Sedangkan asal usul kata “santri” dalam pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, “santri” berasal dari perkataan “sastri”, bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf.[1] Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa kata “santri” dalam bahasa India secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[2] Kedua, yang mengatakan “santri” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
         Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren, pondok atau pondok pesantren secara esensial mengandung makna yang sama, hanya sedikit perbedaan. Kata “pondok” berasal dari bahasa Arab yaitu funduq, artinya tempat menginap (asrama). Dinamakan demikian karena pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya.
         M. Arifin menyatakan bahwa, penggunaan gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasi karakter keduanya. Pondok pesantren menurut M. Arifin :
Suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership para ustaz dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.[3] Adapun menurut Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
         Menarik juga klasifikasi yang diajukan oleh Wardi Bakhtiar, bahwa dilihat dari segi jenis pengetahuan yang diajarkan, pesantren terbagi menjadi dua macam. Pertama, Pesantren Salaf, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab Islam klasik (kitab kuning) saja dan tidak diberikan pembelajaran pngetahuan umum. Kedua, Pesantren Khalaf, yang selain memberikan pembelajaran kitab Islam klasik, juga memberikan pengetahuan umum dengan jalan membuka sekolah umum di lingkungan dan dibawah tanggung jawab pesantren.
         Demikian pula yang dikemukakan oleh Bahaking Rama, bahwa dari segi aktivitas pendidikan yang dikembangkan, pesantren dapat diklasifikasi dalam beberapa tipe, yaitu;
1)      Pesantren tradisional, yaitu pesantren yang hanya menyelenggarakan pengajian kitab dengan sistem sorogan, bandongan dan wetonan.
2)      Pesantren semi modern, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan campuran antara sistem pengajian kitab tradisional dengan madrasah formal dan mengadopsi kurikulum pemerintah.
3)      Pesantren modern, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pola campuran antara sistem pengajian kitab tradisonal, sistem madrasah, dan sistem sekolah umum dengan mengadopsi kurikulum pemerintah (Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dan ditambah dengan kurikulum muatan local.
         Dari berbagai pendapat tentang teori penamaan pesantren tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dibawah pimpinan seorang kiai/ustaz, baik melalui jalur formal maupun non formal yang bertujuan untuk mempelajari dan mengamalkana ajaran Islam melalui pembelajaran kitab kuning dengan menekankan moral keagamaan sebagai pedoman dalam berprilaku keseharian santri.

B.    Metode Pesantren Dalam Membentuk Perilaku Santri
           Perilaku merupakan seperangkat perbuatan/tindakan seseorang dalam merespon sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada dasarnya terdiri dari komponen pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor) atau tindakan. Perilaku menunjukkan wajah kepribadian seorang manusia. Mereka terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang berulang secara tetap pada setiap waktu dan tempat. Kebiasaan-kebiasaan ini tidak terbentuk satu kali jadi. Juga bukan bawaan sejak lahir, tetapi merupakan suatu kebiasaan yang terbentuk dari waktu ke waktu. Ia harus dilatih berulang kali hingga nanti tergerak otomatis. Para ahli mengatakan, ‘pertama-tama kau membentuk kebiasaan, setelah itu kebiasaanmu yang akan membentuk engkau.’
Perbuatan seseorang atau respon seseorang terhadap rangsang yang datang, didasari oleh seberapa jauh pengetahuannya terhadap rangsang tersebut, bagaimana perasaan dan penerimaannya berupa sikap terhadap obyek rangsang tersebut, dan seberapa besar keterampilannya dalam melaksanakan atau melakukan perbuatan yang diharapkan.
           Bagi pesantren setidaknya ada 6 metode yang diterapkan dalam membentuk perilaku santri, yakni ; 1) Metode Keteladanan (Uswah Hasanah); 2) Latihan dan Pembiasaan (tadrib) ; 3) Mengambil Pelajaran (ibrah); 4) Nasehat (mauidzah); 5) Kedisiplinan; 6) Pujian dan Hukuman (targhib wa tahzib)

1.      Metode Keteladanan
           Secara psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk mengembangkan sifat-sifat dan potensinya. Pendidikan perilaku lewat keteladana adalah pendidikan dengan cara memberikan contoh-contoh kongkrit bagi para santri. Dalam pesantren, pemberian contoh keteladanan sangat ditekankan. Pimpinan dan ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik bagi para santri, dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang lain,[4] karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa yang disampaikan. Semakin konsekuen seorang pimpinan atau ustadz menjaga tingkah lakunya, semakin didengar ajarannya.
2.      Metode Latihan dan Pembiasaan
           Mendidik perilaku dengan latihan dan pembiaasaan adalah mendidik dengan cara memberikan latihan-latihan terhadap norma-norma kemudian membiasakan santri untuk melakukannya. Dalam pendidikan di pesantren metode ini biasanya akan diterapkan pada ibadah-ibadah amaliyah, seperti shalat berjamaah, kesopanan pada pimpinan dan ustadz. Pergaulan dengan sesama santri dan sejenisnya. Sedemikian, sehingga tidak asing di pesantren dijumpai, bagaimana santri sangat hormat pada ustadz dan kakak-kakak seniornya dan begitu santunnya pada adik-adik pada junior, mereka memang dilatih dan dibiasakan untuk bertindak demikian.
           Latihan dan pembiasaan ini pada akhirnya akan menjadi akhlak yang terpatri dalam diri dan menjadi yang tidak terpisahkan. Al-Ghazali menyatakan :
"Sesungguhnya perilaku manusia menjadi kuat dengan seringnnya dilakukan perbuatan yang sesuai dengannya, disertai ketaatan dan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah baik dan diridhai".
3.      Mendidik melalui ibrah (mengambil pelajaran)
           Secara sederhana, ibrah berarti merenungkan dan memikirkan, dalam arti umum bisanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Abd. Rahman al-Nahlawi, seorang tokoh pendidikan asal timur tengah, mendefisikan ibrah dengan suatu kondisi psikis yang manyampaikan manusia untuk mengetahui intisari suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimbang-timbang, diukur dan diputuskan secara nalar, sehingga kesimpulannya dapam mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya, lalu mendorongnya kepada perilaku yang sesuai. Adapun pengambilan ibrah bisa dilakukan melalui kisah-kisah teladan, fenomena alam atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik di masa lalu maupun sekarang.
4.      Mendidik melalui mau’idzah (nasehat)
           Mau’idzah berarti nasehat. Rasyid Ridla mengartikan mauidzah sebagai berikut.
”Mau’idzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan jalan apa yang dapat menyentuh hanti dan membangkitkannya untuk mengamalkan”.
           Metode mau’idzah, harus mengandung tiga unsur, yakni : a). Uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini santri, misalnya tentang sopan santun, harus berjamaah maupun kerajinan dalam beramal; b). Motivasi dalam melakukan kebaikan; c). Peringatan tentang dosa atau bahaya yang bakal muncul dari adanya larangan bagi dirinya sendiri maupun orang lain.[5]
5.      Mendidik melalui kedisiplinan
           Dalam ilmu pendidikan, kedisiplinan dikenal sebagai cara menjaga kelangsungan kegiatan pendidikan. Metode ini identik dengan pemberian hukuman atau sangsi. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran siswa bahwa apa yang dilakukan tersebut tidak benar, sehingga ia tidak mengulanginya lagi.[6]
           Pembentukan lewat kedisiplinan ini memerlukan ketegasan dan kebijaksanaan. Ketegasan mengharuskan seorang pendidik memberikan sangsi bagi pelanggar, sementara kebijaksanaan mengharuskan sang pendidik sang pendidik berbuat adil dan arif dalam memberikan sangsi, tidak terbawa emosi atau dorongan lain. Dengan demikian sebelum menjatuhkan sangsi, seorang pendidik harus memperhatikan beberapa hal berikut :
a)   Perlu adanya bukti yang kuat tentang adanya tindak pelanggaran;
b)      Hukuman harus bersifat mendidik, bukan sekedar memberi kepuasan atau balas dendam dari si pendidik;
c)      Harus mempertimbangkan latar belakang dan kondisi siswa yang melanggar, misalnya frekuensinya pelanggaran, perbedaan jenis kelamin atau jenis pelanggaran disengaja atau tidak.
           Di pesantren, hukuman ini dikenal dengan istilah takzir. Takzir adalah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar. Hukuman yang terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah tidak bisa diperbaiki. Juga diberikan kepada santri yang melanggar dengan pelanggaran berat yang mencoreng nama baik pesantren.
6.      Mendidik melalui targhib wa tahzib
           Terdiri atas dua metode sekaligus yang berkaitan satu sama lain; targhib dan tahzib. Targhib adalah janji disertai dengan bujukan agar seseorang senang melakukan kebajikan dan menjauhi kejahatan. Tahzib adalah ancaman untuk menimbulkan rasa takut berbuat tidak benar. Tekanan metode targhib terletak pada harapan untuk melakukan kebajikan, sementara tekanan metode tahzib terletak pada upaya menjauhi kejahatan atau dosa.
           Meski demikian metode ini tidak sama pada metode hadiah dan hukuman. Perbedaan terletak pada akar pengambilan materi dan tujuan yang hendak dicapai. Targhib dan tahzib berakar pada Tuhan (ajaran agama) yang tujuannya memantapkan rasa keagamaan dan membangkitkan sifat rabbaniyah, tanpa terikat waktu dan tempat. Adapun metode hadiah dan hukuman berpijak pada hukum rasio (hukum akal) yang sempit (duniawi) yang tujuannya masih terikat ruang dan waktu. Di pesantren, metode ini biasanya diterapkan dalam pengajian-pengajian, baik sorogan maupun bandongan.[7]
7.      Mendidik melalui kemandirian
           Kemandirian tingkah-laku adalah kemampuan santri untuk mengambil dan melaksanakan keputusan secara bebas. Proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan santri yang biasa berlangsung di pesantren dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu keputusan yang bersifat penting-monumental dan keputusan yang bersifat harian. Pada tulisan ini, keputusan yang dimaksud adalah keputusan yang bersifat rutinitas harian.
           Terkait dengan kebiasan santri yang bersifat rutinitas menunjukkan kecenderungan santri lebih mampu dan berani dalam mengambil dan melaksanakan keputusan secara mandiri, misalnya pengelolaan keuangan, perencanaan belanja, perencanaan aktivitas rutin, dan sebagainya. Hal ini tidak lepas dari kehidupan mereka yang tidak tinggal bersama orangtua mereka dan tuntutan pesantren yang menginginkan santri-santri dapat hidup dengan berdikari. Santri dapat melakukan sharing kehidupan dengan teman-teman santri lainnya yang mayoritas seusia (sebaya) yang pada dasarnya memiliki kecenderungan yang sama. Apabila kemandirian tingkah-laku dikaitkan dengan rutinitas santri, maka kemungkinan santri memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.

C.    Peran Ustad Dalam Proses Identifikasi Santri
Sebelum menguraikan kedudukan (peran) ustad di pesantren, terlebih dahulu penulis uraikan pengertian ustad. Sebenarnya, kata “ustadz” berasal dari ajami (non-arab), persisnya bahasa Persia (Iran). Ustad berarti; da'i, mubaligh, penceramah, guru ngaji Quran, guru madrasah diniyah, guru ngaji kitab di pesantren, pengasuh/pimpinan pesantren; orang yang memiliki kemampuan ilmu agama dan bersikap serta berpakaian layaknya orang alim.
Orangtua memasukkan anaknya ke pondok pesantren biasanya disertai dengan harapan agar si anak mempunyai ilmu agama yang bagus, berakhlak mulia dan memahami hukum-hukum Islam. Selama ini tidak ada kekhawatiran bahwa dengan menuntut ilmu di pesantren akan menjauhkan kasih-sayang orangtua terhadap anak. Anak yang tinggal di pondok pesantren dalam waktu cukup lama tetap bisa beridentifikasi kepada kedua orangtuanya. Dengan menjalin komunikasi secara intens dan teratur diharapkan anak tidak akan kehilangan figur orangtua.
Seperti kita ketahui bahwa sumber identifikasi seorang anak tidak hanya kedua orangtuanya, tetapi bisa juga kepada figur-figur tertentu yang dianggap dekat dan memiliki pengaruh besar bagi anak. Keberadaan pimpinan, pembimbing, ustad maupun teman sebaya juga bisa mempengaruhi pembentukan kepribadian anak.[8]
Kelebihan inilah yang dimiliki pesantren sebagai lembaga pendidikan. Dengan segala keterbatasannya pesantren mampu menampilkan diri sebagai lembaga pembelajaran yang berlangsung terus-menerus hampir 24 jam sehari. Aktivitas dan interaksi pembelajaran berlangsung secara terpadu yang memadukan antara suasana keguruan dan kekeluargaan. Pimpinan sebagai figur sentral di pesantren dapat memainkan peran yang sangat penting dan strategis yang menentukan perkembangan santri dan pesantrennya. Kepribadian pimpinan yang kuat, kedalaman pemahaman dan pengalaman keagamaan yang mendalam menjadi jaminan seseorang dalam menentukan pesantren pilihannya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, santri mengidentifikasi pimpinan/ustad sebagai figur yang penuh kharisma dan wakil atau pengganti orang-tua. Proses sosialisasi dan interaksi yang berlangsung di pesantren memungkinkan santri melakukan imitasi terhadap sikap dan tingkah-laku ustad. Santri juga dapat mengidentifikasi ustad sebagai figur ideal sebagai penyambung silsilah keilmuan para ulama pewaris ilmu masa kejayaan Islam di masa lalu.
Pimpinan atau ustad di pesantren bisa menempatkan diri dalam dua karakter, yaitu sebagai model dan sebagai terapis. Sebagai model, ustad adalah panutan dalam setiap tingkah-laku dan tindak-tanduknya. Bagi anak usia 7-12 tahun hal ini mutlak dibutuhkan karena ustad adalah pengganti orangtua yang tinggal di tempat yang berbeda. Dalam pesantren dengan jumlah santri yang banyak diperlukan jumlah ustad yang bisa mengimbangi banyaknya santri sehingga setiap santri akan mendapatkan perhatian penuh dari seorang ustad. Jika rasio keberadaan santri dan ustad tidak seimbang, maka dikhawatirkan ada santri-santri yang lolos dari pengawasan dan mengambil orang yang tidak tepat sebagai model.
      Sebagai terapis, pimpinan atau ustad memiliki pengaruh terhadap kepribadian dan tingkah-laku sosial santri. Semakin intensif seorang ustad terlibat dengan santrinya semakin besar pengaruh yang bisa diberikan. Ustad bisa menjadi agen kekuatan dalam mengubah perilaku dari yang tidak diinginkan menjadi perilaku tertentu yang diinginkan. Akan sangat bagus jika anak dapat belajar dari sumber yang bervariasi, dibandingkan hanya belajar dari sumber tunggal.[9]











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
                 Perjalanan hidup seorang manusia diawali pada waktu ia dilahirkan, dilanjutkan dengan suatu proses panjang yang akan menentukan bagaimana bentuk kepribadiannya pada masa dewasa. Identifikasi terhadap orang lain adalah salah satu dari sekian banyak proses yang dialami manusia. Hal ini berkaitan erat dengan bagaimana perilaku orang-orang dewasa yang ada di sekitar anak ketika ia sedang dalam masa pertumbuhan. Orangtua yang hangat, berwibawa, penuh kasih-sayang, dan memiliki kompetensi dalam mendidik anak akan membawa pengaruh yang baik bagi anak, dan pengaruh ini akan dibawa sampai seorang anak mencapai kedewasaan.
                 Seorang anak yang tinggal berjauhan dengan orangtuanya karena menjalani pendidikan di pesantren tidak akan kehilangan kesempatan untuk beridentifikasi dengan kedua orangtuanya. Orangtua bisa meyakinkan anak bahwa kasih-sayang mereka tidak terputus meskipun terpisahkan oleh jarak. Komunikasi yang intens, kunjungan secara rutin, memantau perkembangan anak harus selalu dilakukan orangtua.
                 Adanya pembinaan metode pesantren, pimpinan, ustad, dan pembimbing dalam jumlah yang cukup, akan bisa mengganti peran orangtua selama anak tinggal dalam asrama. Pimpinan dan ustad di pesantren berperan dalam dua hal bagi santrinya, yaitu sebagai model dan sebagai terapis.


DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Tamyiz, Akhlak Pesantren : Solusi Bagi Kerusakan Akhlak. Yogyakarta: Ittiqa Press, 2001.
Djiwandono, Sri Esthi Wuryani, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo, 2002.
Dhofier, Zamkhasyari, Tradisi Pesantren. Cet. II; Jakarta: Mizan, 1998.
Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1977.
Mukhdar, Zuhdy, KH. Ali Ma'shum Perjuangan dan Pemikirannya. Yogyakarta: 1989.
An-Nahlawi, Abd. Rahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. diterjemahkan Dahlan & Sulaiman, Bandung:  CV. Dipenegoro, 1992.
Nawawi, Hadari, Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Prasodjo, Sudjoko, Profil Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1982.









[1] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1977),  h. 19
[2] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan)h. 18
[3] M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 240
[4] Zuhdy Mukhdar, KH. Ali Ma'shum Perjuangan dan Pemikirannya, (Yogyakarta, tnp, 1989)
[5] Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren : solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta; ITTIQA PRESS : 2001), h. 57-58
[6] Hadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam, (Surabaya; Al-Ikhlas: 1993), h. 234
[7] Tamyiz Burhanuddin (2001)h. 61
[8] Sri Esthi Wuryani, Psikologi Pendidikan, ( Jakarta: Grasindo : 2002), h. 203
[9] Nurcholish Madjid, (Jakarta:1977) , h. 19-20

1 komentar:

Ebook: Yang Fana Adalah Waktu (Trilogi Hujan Bulan Juni #3)

Sinopsis Yang Fana Adalah Waktu (Trilogi Hujan Bulan Juni #3) Ketika sebuah kisah mendekati akhir, ada saja kisah baru yang muncul mengganti...